CW // NSFW ; blasphemy
Ada hari di mana aku menjadi beriman dan ingat akan Tuhan; adalah hari-hari di mana aku mengitari meja makan dan duduk di kursi paling ujung untuk kemudian duduk dan menghadap ke arah Yang Maha Kudus, yang tengah bersantap dengan para murid-Nya.
“Dara,” dan rukyat ini pun habis dimakan jari-jemari kecil yang menggerayangi rahang hingga ke ujung dagu. Sedang mata kita terpatri satu sama lain — sedang aku duduk di kursi yang menghadap Sang Kudus, sedang sengalmu terdengar nyaring di haribaan dan menjadikanku Yang Kudus.
“Danur Anandara,” kening ini tertaut, lantas aku memejamkan mata, menikmati kecup-kecup ributmu yang berlomba dengan deru napas. Dari ceruk leher hingga ke belakang telinga, dari jari-jemariku yang mengelana bebas — turun dari dada hingga jatuh di minda; Allah yang Maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku, terlebih bahwa aku telah menghina Engkau Yang Maha Pemurah dan Maha Baik padaku. Menghina makanan yang kini duduk di atasku, menghina salah satu rahmatMu untuk terus berada di jalan pengabdianku.
Lantas aku silangkan tangan dengan khusyuk, yang kemudian disangkal olehnya sebelum selesai , “Dara,” digenggamnya tanganku, “Kau Yang Maha Pemberi,” dikecupnya bibir ini sekilas — bibir yang ia tahu akan memakannya lahap-lahap setelah doa sebelum makan aku tahbiskan. “Yang Maha Pemurah,” kemudian ranum itu turun menyusuri ceruk leherku dan terhenti pada lekum sebelum ia mengucapkan doa penutup, “Aku dan tubuhku adalah apa yang bisa aku berikan padaMu, pemilikku. Danur Anandara, Apa yang Kau makan dan ada pada tubuhku, adalah nubuat bagiku.” Dan memberikan ritus persembahan sebelum makan; mencumbu dan mengecup bibirku dalam-dalam, tanpa berniat melepasnya sebelum kami saling bertukar liur dan habis dilahap napas yang mendegam-degam.
Aku memejamkan mata, sebelum memapah dan merebahkannya pada meja — yang dingin kayunya menyengat jangat-jangat punggung telanjangnya sehingga matanya terpejam dan desah yang keluar sebagai hidangan pencicip. Kembali aku mendongak padaNya Yang Maha Kudus dan murid-Nya yang dihidangkan anggur. Kusilangkan jari di dada sembari memejam; Dalam nama Bapak, Putra, dan Roh Kudus. Tuhan yang maha pengasih. Saat ini di hadapan ku ada nikmatMu yang berupa makanan pun juga minuman. Doa ini kupanjatkan padaMu dengan perantara tali kasih dan Juruselamat kami. Amin.
Yang kemudian aku mulai dengan hidangan pembuka — inci demi inci cumbuan dari pundak yang kemudian turun ke lengan, kecup-kecup kecil yang dibubuhi gigitan kecil yang berkelindan di dada, hingga cium hangat yang aku bubuhkan pada perut hambaku, dan hasilkan rematan hangat pada surai. Biraiku bercinta dengan bucu bucu tubuhnya. Dihabiskannya dalam beberapa kali lumatan hidangan pembuka itu, diselingi bisik-bisik kecil yang menyebut namamu, “Radzak.”
Dan aku tengahi dengan hidangan utama — cumbuan yang berakhir pada pangkal-pangkal firdaus, yang sebabkan desah-desah kecil yang mengkultuskan namaku, membabi buta menderu, “Dara, aku milikMu. Jadikan aku hambaMu yang utuh.”
Hingga aku tutup dengan segelas susu dan madu pada cawan-cawan tubuhmu, yang habis aku nikmati dalam sekali sesap dan aku tengguk dalam renungan yang mengamini tiap lekuk tubuhmu. Yang aku tandaskan makan malamku pada tiap-tiap jangat dan lenguhmu. Yang aku ucapkan terima kasih atas jamuan makan malamku — yang aku akui sebagai Yang Rabi dan aku kultuskan engkau dalam desah-desah puncak makan malamku.
“Radzak Mutachdim,” di tengah peribadatan yang ritus ini, dengan bersatunya peluh dan lenguh yang menggema, ketika aku mencium keningmu cukup lama, maka akan kutahbiskan engkau sebagai Yang Rabi. Yang bertugas melayaniku dan menghidangkan apa yang seharusnya aku makan di pagi dan malam hari; yang aku mau dan aku amini adalah elok tubuh dan hangat peluh yang berjatuhan pada jangat-jangat telanjangku.
Tuhan yang maha pemurah, terima kasih atas rezeki yang baru saja aku nikmati. Sehingga aku bisa meningkatkan pengabdian kepadaMu dan semoga makanan yang aku santap hari ini juga menumbuhkan kerinduan atas surga dan firdaus milikMu. Amin.